1927

1927

Selasa, 04 Oktober 2011

Andjiek Ali Nurudin, Istimewa dan Tak Tergantikan (bagian 1)

Tidak banyak yang mengenal sosok beliau, terutama sekali para suporter Persebaya di era millennium ini. Namun, ketika kita berjumpa dengan para suporter tua dan menanyakan nama beliau pastilah sangat mengenal sosok besar ini.

Alasan besar kami untuk mendatangi beliau, karena terprovokasi oleh statement-statement yang mengisahkan kehebatan beliau di eranya. Beberapa statement itu antara lain:
“Istimewa (sambil mengangkat dua jempolnya), saya tidak melihat ada pemain yang memiliki kemampuan dribble sebagus dia hingga kini.”
(Moh Barmen)
“Dia menginspirasi saya untuk menjadi pemain sepakbola, Permainannya anggun, punya style sendiri. Gerakan bahunya itu membuat lawan yang mencoba merebut bola dari dirinya jadi semakin susah.”
(Budi Johannis)
“Pernah dia mendapat bola namun bola masih diatas, bek-bek yang menjaga sudah siap. Dipikiran bek, mungkin bola akan di keeping Andjiek dulu untuk kemudian dibawa masuk melewati mereka. Namun, apa yang terjadi. Andjiek tidak melakukannya, Andjiek langsung salto menyambut bola itu. dan, Gol!.”
(Slamet Oerip Prihadi)
“Setelah era The San Liong, Andjiek adalah yang terbaik. dia tidak hanya licin dan punya drible sempurna tapi juga punya kemampuan mempertahankan bola sangat baik. Andjiek adalah teror bagi pertahanan, saat itu Andjiek lebih terkenal dibanding Soetjipto Soentoro. Jika disuruh memilih saya memilih Andjiek (dibandingkan Soetjipto Soentoro), dan dia tidak tergantikan hingga kini.”
(Andy Slamet)
“Bagi saya dia “Pele” Indonesia. Gerakan badan dalam mengecoh lawan, gerakannya pelan tapi bisa menarik lawan yang menjaga. Tendangan Andjiek tidak keras, tapi jangan harap kiper bisa menangkap.”
(Mardi Santoso)

KEDIRI JOMBANG SURABAYA
Di tiga kota tersebut, Andjiek Ali Nurudin melewati karir sepakbolanya. Latar belakang dari keluarga pesepakbola telah menurun di dalam diri beliau. Kakak dan saudara-saudaranya adalah pesepakbola. Pamannya, Danu, yang juga berprofesi sebagai polisi adalah seorang pemain sepakbola bond Semarang. Adjiek Alinoerdin mengawali karir dari kota asalnya Kediri, Jawa Timur.
“Rumah saya dekat masjid Kauman. Dekat juga dengan Pesantren Lirboyo, Saya orang pondokan.”
“Di depan kabupaten, ada lapangan. Hampir selepas Ashar kami bermain bola, cekeran.”
Bakat bermain bola diteruskan sampai ke tingkat Sekolah Menengah Atas. Beliau masuk di SMA 2 Kediri yang pendidikan olahraganya bagus.
“Saat itu juga saya sudah bergabung dengan HW (Hizbul Wathan) sambil bermain untuk Persik Kediri. Dua kompetisi itu saya jalani bersama-sama.”
“Saya ikut kompetisi Persik sampai tahun 1963.”


Andjiek (berdiri baris ke-4 dari kiri) bersama Persik Kediri
Hizbul Wathan atau yang disingkat dengan HW adalah salah satu organisasi otonom (ortom) di lingkungan Muhammadiyah.
“Saat bermain untuk HW Kediri, HW Jombang mencari pemain untuk berkompetisi di Jombang. Saya di panggil untuk memperkuat HW Jombang.”
“4 Orang yang dipanggil untuk bermain di HW Jombang, antara lain : Hardi Purnomo, Sony Sandra, Sutrisno dan Saya (Andjiek Ali Nurudin).”
“Yang memanggil kami untuk bergabung adalah orang kaya Jombang, namanya H Afandi. Beliau seorang pengusaha transportasi dan jagal sapi, sangat kaya.”
“Setiap selesai latihan di Jombang, kami diantar pulang ke Kediri. Jadi, pulang pergi Jombang-Kediri ada antar jemput.
“Dengan HW Jombang, kami berhadapan dengan klub-klub seperti HBS, Tiong Hoa, dll.”
“Selepas memperkuat Persik Kediri, saya melompat ke Persatuan Sepak Bola Indonesia Djombang (PSID) sebelum bergabung dengan Persebaya.”


PSID Djombang. Andjiek (duduk baris ke-3 dari kiri) bersama Persik Kediri
Tahun 1963, ketika usia 19 tahun. Setelah beliau membantu HW Surabaya meraih posisi kedua kompetisi divisi utama Persebaya. Beliau bergabung dengan Naga Kuning/Surya Naga.
“Perpindahan saya direstui oleh pengurus, karena saya telah membawa HW ke posisi atas. Komplek HW dulu di Peneleh.”
“Saat itu Surya Naga masih ada Phoa San Liong, Tjie Bien, Hendri, Hwa Sik, Kang Djoen (Junaedi Lesmana), dll.”
“Ada kejadian lucu, ketika Surya Naga bertemu dengan HW.”
“Karena saya bekas HW, pemain HW sudah mengenal permainan saya. Sehingga ketika ada momen untuk heading, dua pemain HW menjaga ketat saya. Begitu bola diatas, kedua pemain HW siap untuk lompat, dipikirnya saya bakal melompat untuk menyambut.”
“Begitu mereka berdua melompat, saya diam saja tidak jadi lompat. Mereka tabrakan sendiri.”
“Di Kompetisi Internal Persebaya kami bertemu AD (Junaedi Abdillah, dkk), Assyabab (Jacob Sihasale, Abdul Kadir,dkk).”
“Setiap kali 3 klub (Surya Naga, AD dan Assyabab) tersebut bertemu, pertandingan dipastikan seru.”
“Pada tahun 1968, saya ditarik IM (Indonesia Muda). AD menawari untuk bergabung tetapi saya tolak. Saya memilih IM karena saya bekerja di Pertamina, Pertamina harus IM.”
Tahun 1963, di Surabaya, sambil tetap bermain sepakbola. Beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
“Waktu itu saya dipanggil Gubernur Moch Wijono, bintang dua.”
“You, lulusan apa? Masuk hukum apa ekonomi?.”
“Karena saya jurusan sejarah, waktu itu sejarah jurusan C. ada tiga jurusan di UNAIR : A (Ekonomi), B (Kedokteran) , C (Sejarah dan Ilmu Sosial). Saya memilih masuk UNAIR jurusan Hukum.”
“Saat ospek universitas, saya dapat kemudahan. Hanya disuruh jaga sepeda, padahal yang lainnya disuruh macam-macam seperti cium almamater, dll.”
Jika ada dua hal yang sangat penting, maka bentrok diantara keduanya tidak bisa dihindarkan. Akan sangat sulit untuk memilih keputusan mana yang harus diambil antara sepakbola dan kuliah.
“Saat sudah berkuliah di UNAIR, saya tergabung dengan timnas. Karena saya pemain nasional, anak negara. Setiap ada panggilan harus berangkat, saya masih menyimpan surat-surat panggilan timnas.”
“Akibat pemanggilan timnas, kuliah saya jadi tidak fokus. Untungnya masih ada dispensasi. Ada beberapa dosen menyadari posisi saya, diberi nilai bagus. Namun, ada juga dosen yang tetap tegas dan memberi nilai jelek.”
“Saya berkuliah di Fakultas Hukum UNAIR sampai Sarjana Muda. Dan memutuskan untuk fokus di sepakbola, karena antara kuliah dan sepakbola dua-duanya tidak bisa berjalan bersama. Harus dikorbankan salah satunya.”
Seperti kata  Pele, “Success is no accident. It is hard work, perseverance, learning, studying, sacrifice and most of all, love of what you are doing or learning to do”.
Tahun 1968, beliau bekerja di Pertamina Surabaya sambil tetap memperkuat Persebaya sampai tahun 1974.
“Dulu kalau menjagakan uang dari Persebaya tidak bisa hidup, tidak seperti sekarang. Makanya saya pilih bekerja. Sebelum Pertamina, ancur-ancuran. Hanya dapat uang saku saja.”
“Di Pertamina juga ada kompetisi sepakbola, kompetisi antar departemen.”
“Banyak pemain-pemain Persebaya yang bekerja dan memperkuat tim sepakbola tempat bekerjanya. Seperti Waskito (BULOG), Mardi Santoso dan Mudayat (PTN).”
Jika antara jadwal di Pertamina dan di Persebaya bentrok, salah satu harus dipilih.
“Saat itu Pertamina ada tur, sedang Persebaya berangkat ke Medan. Karena saya masih baru bekerja dan lebih mementingkan Pertamina. Saya membatalkan berangkat ke Medan.”
“Saya bekerja di Pertamina dari golongan 15 sampai golongan 5. Golongan 15 (16 s/d 10) : pegawai biasa, Golongan 9 (9 s/d 6): pegawai staf, Golongan 5 (5 s/d 2) : Pegawai utama.”


Kesebelasan Pertamina. Berdiri kiri-kanan : Johan Rekatompessy, Bambang Sinaryudo, Samidi, Tjong, Sofyan, Sumadi, Charly Pelupessy, Mawardi Umar, Pelupessy (manager). Duduk : Jowari, Bambang Purwadi, Nursam, Subiyantoro, Junaedy Abdillah, Andjiek AN (*), Bompie, Sudjono, Mardi Santoso

10 TAHUN BERSAMA PERSEBAYA
“Selama hampir 10 tahun saya bermain untuk Persebaya, dari tahun 1963 sampai 1973.”
“Saya bermain di posisi penyerang, Forward.”
“Dulu dari bawah sampai kalangan elit, semua penggemar Persebaya. Saya ingat itu ketika kami hendak berangkat ke Makasar tahun 1963. Letnan Kolonel Soedono, Perwira AD kala itu sampai-sampai ikut mengantarkan kami ke bandara.”
Rivalitas Persebaya dan Persib Bandung, memang sudah terpupuk dari dulu. Selain dikarenakan hampir seluruh pemain adalah putra daerah yang mana memiliki loyalitas tinggi akan daerahnya, masing-masing klub perserikatan memiliki pemain-pemain handal yang jika bertemu akan saling menunjukkan siapa yang terhebat.
“Tahun 1965, kami bertemu dengan Persib Bandung dalam rangka 4 Besar. Hampir semua pemain Persib adalah penghuni PSSI Banteng. Sedangkan saya bermain untuk PSSI Garuda.”
“Pemain-pemain Persib seperti Fatah Hidayat, Omo, Max Timisela (Timisela bersaudara), Wowo, Sunarto, Ishak Udin. Sedangkan Persebaya ada Saya, Jacob Sihasale, Bob Hippy, Phoa San Liong.”
“Saat kami bertemu, penonton sangat antusias berdatangan. Tidak terkecuali para tentara, di Tribun Timur Divisi Siliwangi member dukungan kepada para pemain Persib. Di sisi Tribun Barat, kami didukung oleh Divisi Brawijaya dan KKO.”
“Saya diberi bola solo run. Saya berusaha mengejar. Begitu mendekati garis pinggir lapangan, dari belakang saya ditenggak Fatah Hidayat saat body charge. Saya sesak sekali, tidak bisa bernafas.”
“Setelah saya pulih dan dapat bermain kembali, saya mendapatkan momen yang sama dengan Fatah Hidayat. Ketika dia hendak melakukan hal yang sama terhadap saya, dengan sigap saya masukkan sikut saya dan mendarat pas di hidungnya.”
“Fatah Hidayat terkapar di lapangan dengan darah mengucur, Keributan kedua belah pihak pecah. Datang pemain Persib hendak memukul saya, saya hindari dan membalaskan pukulan. Keributan merembet sampai di bangku penonton, sampai-sampai tentara memberikan tembakan peringatan ke udara. Naasnya, salah satu peluru yang ditembakkan membentur atas Stadion Senayan dan memantul ke bawah dan mengenai satu Perwira. Perwira tersebut meninggal.”
“Semua penonton panik, tidak terkecuali teman saya pemain PSM. Dia sampai melompat dari tribun atas ke tribun bawah.”
“Akhirnya pertandingan dihentikan dengan skor masih 0-0, untuk sementara putaran 4 besar juga ikut diberhentikan.”

Mardi Santoso, yang kala itu juga bermain mengisahkan:
Pertandingan itu juga disaksikan oleh tentara. dari Batalion 531 (Siliwangi) , Batalion Kavaleri , Batalion 530 (Brawijaya) dan Batalion KKO (Marinir) yang baru pulang dari Kaltara (Kalimantan Utara). Siliwangi mendukung Persib, Brawijaya mendukung Persebaya. Pasukan Siliwangi maupun Brawijaya saat itu berada di Jakarta dalam rangka pengamanan pasca G-30-S/PKI.
Babak kedua, posisi saat itu kita (Persebaya) menang. Bola saya tembak dari jauh, masuk!. 1-0 untuk Persebaya. Pemain Persib bermain kasar. Andjiek, orangnya kalem. Dia digasak dari belakang oleh Fatah Hidayat. Sebelumnya, Fatah Hidayat berulang kali berusaha mengasari Andjiek. Begitu ada momen yang sama, kesabaran Andjiek habis. Sikutnya dipasang, Fatah Hidayat jatuh dengan darah mengucur dari hidung.
Andjiek dikejar Yus Etek (Penjaga Gawang Persib), dia lari ke 530. Adu jotos saling pukul terjadi. Pemain cadangan sampai keluar dari bangku cadangan, semua berkelahi. Saya juga ikut berkelahi. KKO menghentikan keributan dengan tembakan udara.
Ternyata peluru yang dilepaskan membentur atap dan memantul ke bawah, mengenai seorang Mayor kavaleri baret hitam. Satu korban meninggal.
Pertandingan dihentikan dan ditunda sampai batas waktu yang ditentukan. Ada usulan untuk bermain di Medan, PSSI menyetujui. Kami dulu main dimanapun siap, karena tim kami sangat kuat. Antara tim inti dan tim cadangan tidak ada bedanya, kekuatan merata. Pada pertandingan lawan Persib, mereka tidak bisa masuk menembus pertahanan Persebaya, Kita memiliki bek-bek hebat. Solekan, Hwa Sik dan Samidi siap menghalau.
Kita memiliki ketua Persebaya yang sangat kalem tetapi bijaksana, beliau Brigjen Mujaya. Beliau berkata, ”Kita kalah demi Negara. Kalau terjadi lagi bagaimana?. Mungkin pilihan beliau saat itu mengalah, dikarenakan situasi Negara pasca G-30-S/PKI.

Dari sumber Novan Media Research: (link:Kejurnas PSSI 1965-1966)
Kejuaraan Nasional (Kejurnas) PSSI 1965-1966; Tingkat Nasional (s/d. 17 September 1966)
Babak Semifinal:
[Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan (Jakarta)]
11 Agustus 1965: Persib vs Persebaya 1-0
11 Agustus 1965: PSM vs PSMS 3-1
12 Agustus 1965: PSMS vs PSM 1-3
12 Agustus 1965: Persebaya vs Persib 0-1***
***) Pertandingan Persib vs Persebaya berlangsung ricuh. Persebaya menarik diri.
Perebutan Peringkat 3-4:
***) Pertandingan perebutan peringkat ke-3 dan ke-4 batal digelar karena Persebaya dikenai sanksi. PSMS secara otomatis menempati peringkat ke-3.
Babak Final:
[Stadion Teladan (Medan)]
17 September 1966: PSM vs Persib 2-0***
***) Kejurnas PSSI 1965-1966 mengalami pengunduran jadwal karena kasus kericuhan ketika Persib vs Persebaya. Semula kompetisi akan berakhir pada 15 Agustus 1966. Pertandingan babak final pun dipindahkan ke Stadion Teladan (Medan).


KEJURNAS PSSI 1965-1966. Phoa San Liong (Januar Pribadi), Jauhari (GK), Zulkifli, Solekan, Jacob Sihasale, Samidi, Hwa Sik, Bob Hippy, Mardi Santoso, Andjiek AN, Mudayat.

Selama bermain untuk Persebaya, beliau menjadi langganan incaran bek-bek lawan untuk bermain kasar dalam menghentikan.
“Gelandang PSM, Rasyid Dahlan, pernah bercerita kepada saya.”
“Asal anda membawa bola. Kita yang dibelakang rasanya sudah. Capek mengejar.”
“Begitu anda masuk pertahanan kami. Harry Tjong (Kiper) bilang ke John Simon (Stopper), Faisal Yusuf (Bek Kiri) dan Mangundap (Bek Kanan). Dengka Mi! Dengka Mi! (Pukul dia, Pukul dia!).”
“Bakulamak memang anda ini.”
“Itulah komentar lawan saya, saya sendiri merasa ya biasa saja. Menggiring bola seperti apa yang saya lakukan. Berdasarkan naluri saja.”
Pergerakannya yang sangat licin mampu mengecoh lawan yang menghadang dan tidak jarang gol tercipta dari pergerakan itu. Sebelum Maradona melakukan aksi solo run di Mexico 1986, beliau sudah melakukannya.
“Saat itu mendapat bola di tengah lapangan dari Jacob Sihasale yang di posisi kiri saya, bola saya giring terus. Begitu ada lawan mendekat, saya lewati. Bertemu yang lain, saya lewati lagi. Hampir semua lawan saya lewati satu per satu. Sampai akhirnya saya gol-kan sendiri ke gawang lawan.”


WM Formasi PERSEBAYA 1965

Meski beliau bersama Persebaya dalam kurun waktu 1963-1973 tidak merasakan gelar juara perserikatan. Namun, masyarakat tetap mengenal sosok Andjiek sebagai sosok yang dikagumi karena kemahiran bersepakbola. Mendekati akhir pengabdiannya di Persebaya, sosok Andjiek menjadi sorotan pengurus Persebaya saat itu, Djoko Soetopo.
“Saya tidak tahu mengapa beliau seperti itu kepada saya. Apa karena saya menolak tur ke medan waktu itu atau karena hal lain, saya tidak tahu.”
“Bahkan dia sampai berjanji kepada saya.”
“Masio Andjiek bisa terbang.Tetap tidak akan saya panggil!.”
“Memang, akhirnya saya keluar dari Persebaya. Karena saya dipindah tugaskan ke Jakarta, dan saya bergabung dengan Persija.”
“Saya pindah dari Persebaya, hanya murni karena dinas saja.”
“Di Kejurnas PSSI 1974, Persija bertemu dengan Persebaya. Dan saya mengalahkan Persebaya.”
Mungkin keputusan beliau benar terhadap apa yang diyakininya, seperti kata Johan Cruyff. “It’s better to fail with your own vision rather than following another man’s vision.”


Piala Bergilir Presiden Suharto 1974

DARI GARUDA KE BANTENG
Pada tahun 1961, Coach Tony Pogaknic dan Scout Talent Djamiat Dhalhar mencari para pemain dari seluruh nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, untuk mencari bibit-bibit pemain nasional untuk dipanggil ke Jakarta dalam seleksi menjadi pemain Timnas Piala Asia Junior 1961.
“120 pemain dipanggil ke Jakarta untuk seleksi.”
“Dari Pematang Siantar ada Ipong Silalahi, Bogor Yusuf, dari Aceh ada Agam Jalil dan Abdul Rauf, dari Merauke ada Dominggus Waweae.”
“Dominggus ini lebih kecil badannya dari Iswadi Idris.”
“120 pemain tersebut dilatih. Libur saat lebaran saja, habis lebaran dipanggil kembali. Hanya sisa 60 pemain yang bergabung.”
“ Menjelang turnamen tinggal 25 pemain. dari Jombang tinggal 3 saja, termasuk saya.”
“25 pemain dengan 2 pemain yang diikutkan berangkat ke Bangkok.”
“Kami Juara ganda dengan Burma, saat itu bonus tiap pemain hanya mendapat uang saku 2 dollar.”
“Setelah juara tersebut, kami selalu diundang oleh negara-negara tetangga untuk mengikuti turnamen yang diselenggarakan seperti Turnamen Abdurahman Cup (Singapura), Merdeka Games (Vietnam).”
“Dari umur 17 tahun sampai 18 tahun, saya masuk Timnas Junior.”


Timnas Junior 1961

Dari sumber Novan Media Research:(link:Piala Asia Junior 1961)
Kisah berawal pada 18 Februari 1961 ketika 27 pemain seleksi diikutsertakan dalam pelatihan di Lapangan Kebayoran, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Mereka dibina oleh Tony Pogaknic (pelatih timnas Indonesia Senior), Djamiat Dhalhar, dan Maulwi Saelan. Singkat cerita, rombongan timnas Indonesia pun berangkat menuju Bangkok, Muangthai (Thailand), dengan menggunakan pesawat “Borobudur” Garuda Indonesia Airways.
Pada Piala Asia Junior 1961, Indonesia membawa 18 pemainnya yaitu Hardi Purnomo, Faisal Jusuf, Sonny Sandra, Idris Mappakaja, Rasjid Dahlan, Ipong, Agam, Djumadio, Andjiek Alinurdin, Bob Hippy, Kuswanadji, Pirngadi, Suwardjo, Bogor Jusuf, Saptono, Hussein Hamid, Suparno, dan Willem Souw, Abdul Rauf.
Luar biasa! Indonesia pun berhasil meraih gelar juara (bersama Burma) dalam Piala Asia Junior 1961 di Bangkok, Muangthai. Inilah hasil pertandingan yang dilakukan Indonesia: vs Vietnam Selatan 2-0, vs Jepang 2-1, vs Korea Selatan 2-2, vs Singapura 1-1, dan vs Burma 0-0.
Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, timnas Indonesia Junior asuhan Djamiat Dhalhar (pelatih) itu melakukan pertandingan persahabatan (friendly games) melawan Malaya (kini, Malaysia) dan Singapura. Hasilnya, menang 4-2 atas Malaya dan 4-3 atas Singapura Selection.
Di Jakarta (Indonesia), rombongan disambut Ketua Umum PSSI Abdul Wahab Djojohadikoesoemo. Tampak pula Bob Hippy, sang topscorer.


The Winner, Junior 1962 Bangkok. Berdiri : Bachrul, Saptono, Agam Djalil, Bob Hippy, Ipong S, Hardi Poernomo, Rasyid Dahlan, Djamiat Dahlar, Abdul Rauf, Djumadio, Bogor Jusuf, Andjiek AN(*). duduk: Faisal, Budi Pirngadi, Idris R, Koeswanadji, Sony Sandra, William Souw, Suparno, …., Husein H.

Selepas insiden Senayan 1965, beliau kembali ke pemusatan TC (Training Camp) di jalan Karapan Sapi.
“Kami melakukan tur eropa ke negara-negara seperti Jerman Timur, Belanda, Yugoslavia, Bulgaria.”
“Di Belanda kami melawan Feyenoord, yang kebanyakan suporternya adalah bekas RMS. Postur tubuh mereka yang tinggi dan cuaca yang dingin, membuat kami tidak bisa berimbang. Saya sendiri kena di leher, saat beradu heading dengan mereka. Lengan mereka masuk ke leher saya, dan itu membuat saya terkapar.”
“Kami sempat unggul di babak pertama dengan skor 1-0 oleh Soetjipto Soentoro, sebelum dibalas 5-1 oleh mereka.”
“Dari tur eropa itu, sampai-sampai kami mendapatkan masing-masing sepatu Adidas “Argentina” yang terbaru saat melawat ke Jerman Timur. Di Indonesia belum ada sepatu seperti model ini, ada pembuka pul dan pul cadangan. Pulnya dari aluminium.”
“Saya di timnas dari PSSI Garuda (junior) sampai PSSI Banteng (senior).Tahun 1966 saya masih ikut lawatan ke Bangkok, Kira-kira 1967-1968 saya mundur dari timnas.”


Tur Eropa. Berdiri: Yudo Hadianto, Sucipto Suntoro, Hariyanto, Liem Soei Liang (Surya Lesmana), Komarudin, Shahruna, Willy Ang Ching Siang,Hafid Sijaya Hasan, Reny Salaky, Fan Tek Fong (Mulyadi). Duduk : Tek Liong, …….., Welly Daud, Andjiek AN (*), Aliandu.


Tim Nasional.Burma, Oktober 1965. Berdiri: Sucipto suntoro, Yudo Hadianto, Sucipto Suntoro, Fam Tek Fong, Liem Soei Liang, Komarudin, Renny Salaki, Andjiek AN (*), John Simon, Hariyanto, Welly Daud.

Mardi Santoso, menambahkan:
Sebelum ada merk-merk seperti Adidas, Puma, dll. Sepatu bola jaman dulu yang terkenal ada 3 merk.  Siong Fu buatan Pasar Senen jakarta, dari kulit dan pul paku, Tju Wit buatan Solo dan Soewardi buatan Malang. Hanya pemain yang pernah bermain untuk timnas (Asian Games, Ganefo) yang bisa merasakan sepatu-sepatu bermerk.
Andjiek adalah bagian dari Trio Keramat PSSI (bersama Bob Hippy dan Dirhamsyah). Mereka ini sangat hebat. Andjiek, memiliki kemampuan dribble dan penguasaan bola yang bagus. Bob Hippy, memiliki tendangan dari luar sangat keras. Dirhamsyah (Persija), memiliki gerak cepat. Kalau sekarang semacam messi, yang obrak-abrik di dalam kotak penalti.

Itulah sekelumit kisah dari seorang Andjiek Ali Nurudin, mantan pemain yang kala bermain memperkuat Persebaya menjadi idola bagi semua. Bermain atas naluri dan kecintaannya terhadap sepakbola. Dengan kerendahan hatinya, beliau tetap disegani masyarakat pecinta Persebaya.
Seperti kata Johan Cruyff, “Football is simple. But the hardest thing is to play football in a simple way.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar